Tantangan zaman modern terhadap agama terletak dalam masalah metode pembuktian. Metode ini mengenal hakikat melalui percobaan dan pengamatan, sedang akidah agama berhubungan dengan alam di luar indera, yang tidak mungkin dilakukan percobaan (agama didasarkan pada analogi dan induksi). Hal inilah yang menyebabkan menurut metode ini agama batal, sebab agama tidak mempunyai landasan ilmiah.
Sebenarnya sebagian ilmu modern juga batal, sebab juga tidak mempunyai landasan ilmiah. Metode baru tidak mengingkari wujud sesuatu, walaupun belum diuji secara empiris. Di samping itu metode ini juga tidak menolak analogi antara sesuatu yang tidak terlihat dengan sesuatu yang telah diamati secara empiris. Hal ini disebut dengan “analogi ilmiah” dan dianggap sama dengan percobaan empiris.
Suatu percobaan dipandang sebagai kenyataan ilmiah, tidak hanya karena percobaan itu dapat diamati secara langsung. Demikian pula suatu analogi tidak dapat dianggap salah, hanya karena dia analogi. Kemungkinan benar dan salah dari keduanya berada pada tingkat yang sama.
Percobaan dan pengamatan bukanlah metode sains yang pasti, karena ilmu pengetahuan tidak terbatas pada persoalan yang dapat diamati dengan hanya penelitian secara empiris saja. Teori yang disimpulkan dari pengamatan merupakan hal-hal yang tidak punya jalan untuk mengobservasi. Orang yang mempelajari ilmu pengetahuan modern berpendapat bahwa kebanyakan pandangan pengetahuan modern, hanya merupakan interpretasi terhadap pengamatan dan pandangan tersebut belum dicoba secara empiris. Oleh karena itu banyak sarjana percaya padanya hakikat yang tidak dapat diindera secara langsung. Sarjana mana pun tidak mampu melangkah lebih jauh tanpa berpegang pada kata-kata seperti: “Gaya” (force), “Energy”, “alam” (nature), dan “hukum alam”. Padahal tidak ada seorang sarjana pun yang mengenal apa itu: “Gaya, energi, alam, dan hukum alam”. Sarjana tersebut tidak mampu memberikan penjelasan terhadap kata-kata tersebut secara sempurna, sama seperti ahli teologi yang tidak mampu memberikan penjelasan tentang sifat Tuhan. Keduanya percaya sesuai dengan bidangnya pada sebab-sebab yang tidak diketahui.
Dengan demikian tidak berarti bahwa agama adalah “iman kepada yang ghaib” dan ilmu pengetahuan adalah percaya kepada “pengamatan ilmiah”. Sebab, baik agama maupun ilmu pengetahuan kedua-duanya berlandaskan pada keimanan pada yang ghaib. Hanya saja ruang lingkup agama yang sebenarnya adalah ruang lingkup “penentuan hakikat” terakhir dan asli, sedang ruang lingkup ilmu pengetahuan terbatas pada pembahasan ciri-ciri luar saja. Kalau ilmu pengtahuan memasuki bidang penentuan hakikat, yang sebenarnya adalah bidang agama, berarti ilmu pengetahuan telah menempuh jalan iman kepada yang ghaib. Oleh sebab itu harus ditempuh bidang lain.
Para sarjana masih menganggap bahwa hipotesis yang menafsirkan pengamatan tidak kurang nilainya dari hakikat yang diamati. Mereka tidak dapat mengatakan: Kenyataan yang diamati adalah satu-satunya “ilmu” dan semua hal yang berada di luar kenyataan bukan ilmu, sebab tidak dapat diamati. Sebenarnya apa yang disebut dengan iman kepada yang ghaib oleh orang mukmin, adalah iman kepada hakikat yang tidak dapat diamati. Hal ini tidak berarti satu kepercayaan buta, tetapi justru merupakan interpretasi yang terbaik terhadap kenyataan yang tidak dapat diamati oleh para sarjana.
2. Keberadaan Alam Membuktikan Adanya Tuhan
Adanya alam serta organisasinya yang menakjubkan dan rahasianya yang pelik, tidak boleh tidak memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah menciptakannya, suatu “Akal” yang tidak ada batasnya. Setiap manusia normal percaya bahwa dirinya “ada” dan percaya pula bahwa alam ini “ada”. Dengan dasar itu dan dengan kepercayaan inilah dijalani setiap bentuk kegiatan ilmiah dan kehidupan.
Jika percaya tentang eksistensi alam, maka secara logika harus percaya tentang adanya Pencipta Alam. Pernyataan yang mengatakan: <<Percaya adanya makhluk, tetapi menolak adanya Khaliq>> adalah suatu pernyataan yang tidak benar. Belum pernah diketahui adanya sesuatu yang berasal dari tidak ada tanpa diciptakan. Segala sesuatu bagaimanapun ukurannya, pasti ada penyebabnya. Oleh karena itu bagaimana akan percaya bahwa alam semesta yang demikian luasnya, ada dengan sendirinya tanpa pencipta?
3. Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Fisika
Sampai abad ke-19 pendapat yang mengatakan bahwa alam menciptakan dirinya sendiri (alam bersifat azali) masih banyak pengikutnya. Tetapi setelah ditemukan “hukum kedua termodinamika” (Second law of Thermodynamics), pernyataan ini telah kehilangan landasan berpijak.
Hukum tersebut yang dikenal dengan hukum keterbatasan energi atau teori pembatasan perubahan energi panas membuktikan bahwa adanya alam tidak mungkin bersifat azali. Hukum tersebut menerangkan bahwa energi panas selalu berpindah dari keadaan panas beralih menjadi tidak panas. Sedang kebalikannya tidak mungkin, yakni energi panas tidak mungkin berubah dari keadaan yang tidak panas menjadi panas. Perubahan energi panas dikendalikan oleh keseimbangan antara “energi yang ada” dengan “energi yang tidak ada”.
Bertitik tolak dari kenyataan bahwa proses kerja kimia dan fisika di alam terus berlangsung, serta kehidupan tetap berjalan. Hal itu membuktikan secara pasti bahwa alam bukan bersifat azali. Seandainya alam ini azali, maka sejak dulu alam sudah kehilangan energinya, sesuai dengan hukum tersebut dan tidak akan ada lagi kehidupan di alam ini. Oleh karena itu pasti ada yang menciptakan alam yaitu Tuhan.
4. Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Astronomi
Benda alam yang paling dekat dengan bumi adalah bulan, yang jaraknya dari bumi sekitar 240.000 mil, yang bergerak mengelilingi bumi dan menyelesaikan setiap edarannya selama dua puluh sembilan hari sekali. Demikian pula bumi yang terletak 93.000.000.000 mil dari matahari berputar pada porosnya dengan kecepatan seribu mil per jam dan menempuh garis edarnya sepanjang 190.000.000 mil setiap setahun sekali. Di samping bumi terdapat gugus sembilan planet tata surya, termasuk bumi, yang mengelilingi matahari dengan kecepatan luar biasa.
Matahari tidak berhenti pada suatu tempat tertentu, tetapi ia beredar bersama-sama dengan planet-planet dan asteroid mengelilingi garis edarnya dengan kecepatan 600.000 mil per jam. Di samping itu masih ada ribuan sistem selain “sistem tata surya” kita dan setiap sistem mempunyai kumpulan atau galaxy sendiri-sendiri. Galaxy-galaxy tersebut juga beredar pada garis edarnya. Galaxy dimana terletak sistem matahari kita, beredar pada sumbunya dan menyelesaikan edarannya sekali dalam 200.000.000 tahun cahaya.
Logika manusia dengan memperhatikan sistem yang luar biasa dan organisasi yang teliti, akan berkesimpulan bahwa mustahil semuanya ini terjadi dengan sendirinya, bahkan akan menyimpulkan bahwa di balik semuanya itu ada kekuatan maha besar yang membuat dan mengendalikan sistem yang luar biasa tersebut, kekuatan maha besar tersebut adalah Tuhan.
Metode pembuktian adanya Tuhan melalui pemahaman dan penghayatan keserasian alam tersebut oleh Ibnu Rusyd diberi istilah “dalil ikhtira”. Di samping itu Ibnu Rusyd juga menggunakan metode lain yaitu “dalil inayah”. Dalil ‘inayah adalah metode pembuktian adanya Tuhan melalui pemahaman dan penghayatan manfaat alam bagi kehidupan manusia (Zakiah Daradjat, 1996:78-80).
Pengertian Iman
Kebanyakan orang menyatakan bahwa kata iman berasal dari kata kerja amina-yu’manu-amanan yang berarti percaya. Oleh karena itu, iman yang berarti percaya menunjuk sikap batin yang terletak dalam hati. Akibatnya, orang yang percaya kepada Allah dan selainnya seperti yang ada dalam rukun iman, walaupun dalam sikap kesehariannya tidak mencerminkan ketaatan dan kepatuhan (taqwa) kepada yang telah dipercayainya, masih disebut orang yang beriman. Hal itu disebabkan karena adanya keyakinan mereka bahwa yang tahu tentang urusan hati manusia adalah Allah dan dengan membaca dua kalimah syahadat telah menjadi Islam.
Dalam surah al-Baqarah ayat 165 dikatakan bahwa orang yang beriman adalah orang yang amat sangat cinta kepada Allah (asyaddu hubban lillah). Oleh karena itu beriman kepada Allah berarti amat sangat rindu terhadap ajaran Allah, yaitu Al-Quran menurut Sunnah Rasul. Hal itu karena apa yang dikehendaki Allah, menjadi kehendak orang yang beriman, sehingga dapat menimbulkan tekad untuk mengorbankan segalanya dan kalau perlu mempertaruhkan nyawa.
Dalam hadits diriwayatkan Ibnu Majah Atthabrani, iman didefinisikan dengan keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan amal perbuatan (Al-Immaanu ‘aqdun bil qalbi waigraarun billisaani wa’amalun bil arkaan). Dengan demikian, iman merupakan kesatuan atau keselarasan antara hati, ucapan, dan laku perbuatan, serta dapat juga dikatakan sebagai pandangan dan sikap hidup atau gaya hidup.
Istilah iman dalam al-Qur’an selalu dirangkaikan dengan kata lain yang memberikan corak dan warna tentang sesuatu yang diimani, seperti dalam surat an-Nisa’:51 yang dikaitkan dengan jibti (kebatinan/idealisme) dan thaghut (realita/naturalisme). Sedangkan dalam surat al-Ankabut: 52 dikaitkan dengan kata bathil, yaitu walladziina aamanuu bil baathili. Bhatil berarti tidak benar menurut Allah. Dalam surat lain iman dirangkaikan dengan kata kaafir atau dengan kata Allah. Sementara dalam al-Baqarah: 4, iman dirangkaikan dengan kata ajaran yang diturunkan Allah (yu’minuuna bimaa unzila ilaika wamaa unzila min qablika).
Kata iman yang tidak dirangkaikan dengan kata lain dalam al-Qur’an, mengandung arti positif. Dengan demikian, kata iman yang tidak dikaitkan dengan kata Allah atau dengan ajarannya, dikatakan sebagai iman haq. Sedangkan yang dikaitkan dengan selainnya, disebut iman bathil.
Wujud Iman
Akidah Islam dalam al-Qur’an disebut iman. Iman bukan hanya berarti percaya, melainkan keyakinan yang mendorong seorang muslim untuk berbuat. Oleh karena itu lapangan iman sangat luas, bahkan mencakup segala sesuatu yang dilakukan seorang muslim yang disebut amal saleh.
Seseorang dinyatakan iman bukan hanya percaya terhadap sesuatu, melainkan kepercayaan itu mendorongnya untuk mengucapkan dan melakukan sesuatu sesuai dengan keyakinan. Karena itu iman bukan hanya dipercayai atau diucapkan, melainkan menyatu secara utuh dalam diri seseorang yang dibuktikan dalam perbuatannya.
Akidah Islam adalah bagian yang paling pokok dalam agama Islam. Ia merupakan keyakinan yang menjadi dasar dari segala sesuatu tindakan atau amal. Seseorang dipandang sebagai muslim atau bukan muslim tergantung pada akidahnya. Apabila ia berakidah Islam, maka segala sesuatu yang dilakukannya akan bernilai sebagai amaliah seorang muslim atau amal saleh. Apabila tidak beraqidah, maka segala amalnya tidak memiliki arti apa-apa, kendatipun perbuatan yang dilakukan bernilai dalam pendengaran manusia.
Akidah Islam atau iman mengikat seorang muslim, sehingga ia terikat dengan segala aturan hukum yang datang dari Islam. Oleh karena itu menjadi seorang muslim berarti meyakini dan melaksanakan segala sesuatu yang diatur dalam ajaran Islam. Seluruh hidupnya didasarkan pada ajaran Islam.
Proses Terbentuknya Iman
Spermatozoa dan ovum yang diproduksi dan dipertemukan atas dasar ketentuan yang digariskan ajaran Allah, merupakan benih yang baik. Allah menginginkan agar makanan yang dimakan berasal dari rezeki yang halalanthayyiban. Pandangan dan sikap hidup seorang ibu yang sedang hamil mempengaruhi psikis yang dikandungnya. Ibu yang mengandung tidak lepas dari pengaruh suami, maka secara tidak langsung pandangan dan sikap hidup suami juga berpengaruh secara psikologis terhadap bayi yang sedang dikandung. Oleh karena jika seseorang menginginkan anaknya kelak menjadi mukmin yang muttaqin, maka isteri hendaknya berpandangan dan bersikap sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Benih iman yang dibawa sejak dalam kandungan memerlukan pemupukan yang berkesinambungan. Benih yang unggul apabila tidak disertai pemeliharaan yang intensif, besar kemungkinan menjadi punah. Demikian pula halnya dengan benih iman. Berbagai pengaruh terhadap seseorang akan mengarahkan iman/kepribadian seseorang, baik yang datang dari lingkungan keluarga, masyarakat, pendidikan, maupun lingkungan termasuk benda-benda mati seperti cuaca, tanah, air, dan lingkungan flora serta fauna.
Pengaruh pendidikan keluarga secara langsung maupun tidak langsung, baik yang disengaja maupun tidak disengaja amat berpengaruh terhadap iman seseorang. Tingkah laku orang tua dalam rumah tangga senantiasa merupakan contoh dan teladan bagi anak-anak. Tingkah laku yang baik maupun yang buruk akan ditiru anak-anaknya. Jangan diharapkan anak berperilaku baik, apabila orang tuanya selalu melakukan perbuatan yang tercela. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda, “Setiap anak, lahir membawa fitrah. Orang tuanya yang berperan menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi”.
Pada dasarnya, proses pembentukan iman juga demikian. Diawali dengan proses perkenalan, kemudian meningkat menjadi senang atau benci. Mengenal ajaran Allah adalah langkah awal dalam mencapai iman kepada Allah. Jika seseorang tidak mengenal ajaran Allah, maka orang tersebut tidak mungkin beriman kepada Allah.
Seseorang yang menghendaki anaknya menjadi mukmin kepada Allah, maka ajaran Allah harus diperkenalkan sedini mungkin sesuai dengan kemampuan anak itu dari tingkat verbal sampai tingkat pemahaman. Bagaimana seorang anak menjadi mukmin, jika kepada mereka tidak diperkenalkan al-Qur’an.
Di samping proses pengenalan, proses pembiasaan juga perlu diperhatikan, karena tanpa pembiasaan, seseorang bisa saja semula benci berubah menjadi senang. Seorang anak harus dibiasakan untuk melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi hal-hal yang dilarang-Nya, agar kelak setelah dewasa menjadi senang dan terampil dalam melaksanakan ajaran-ajaran Allah.
Berbuat sesuatu secara fisik adalah satu bentuk tingkah laku yang mudah dilihat dan diukur. Tetapi tingkah laku tidak terdiri atas perbuatan yang tampak saja. Di dalamnya tercakup juga sikap-sikap mental yang tidak selalu mudah ditanggapi kecuali secara fisik langsung (misalnya, melalui ucapan atau perbuatan yang diduga dapat menggambarkan sikap mental tersebut), bahkan secara tidak langsung itu adakalanya cukup sulit menarik kesimpulan yang teliti. Di dalam tulisan ini dipergunakan istilah tingkah laku dalam arti luas dan dikaitkan dengan nilai-nilai hidup, yakni seperangkat nilai yang diterima oleh manusia sebagai nilai yang penting dalam kehidupan, yaitu iman. Yang dituju adalah tingkah laku yang merupakan perwujudan nilai-nilai hidup tertentu, yang disebut tingkah laku terpola.
Dalam keadaan tertentu, sifat, arah, dan intensitas tingkah laku dapat dipengaruhi melalui campur tangan secara langsung, yakni dalam bentuk intervensi terhadap interaksi yang terjadi. Dalam hal ini dijelaskan beberap prinsip dengan mengemukakan implikasi metodologinya, yaitu:
1. Prinsip pembinaan berkesinambungan
Proses pembentukan iman adalah suatu proses yang penting, terus menerus, dan tidak berkesudahan. Belajar adalah suatu proses yang memungkinkan orang semakin lama semakin mampu bersikap selektif. Implikasinya ialah diperlukan motivasi sejak kecil dan berlangsung seumur hidup. Oleh karena itu penting mengarahkan proses motivasi agar membuat tingkah laku lebih terarah dan selektif menghadapi nilai-nilai hidup yang patut diterima atau yang seharusnya ditolak.
2. Prinsip internalisasi dan individuasi
Suatu nilai hidup antara lain iman dapat lebih mantap terjelma dalam bentuk tingkah laku tertentu, apabila anak didik diberi kesempatan untuk menghayatinya melalui suatu peristiwa internalisasi (yakni usaha menerima nilai sebagai bagian dari sikap mentalnya) dan individuasi (yakni menempatkan nilai serasi dengan sifat kepribadiannya). Melalui pengalaman penghayatan pribadi, ia bergerak menuju satu penjelmaan dan perwujudan nilai dalam diri manusia secara lebih wajar dan “amaliah”, dibandingkan bilamana nilai itu langsung diperkenalkan dalam bentuk “utuh”, yakni bilamana nilai tersebut langsung ditanamkan kepada anak didik sebagai suatu produk akhir semata-mata. Prinsip ini menekankan pentingnya mempelajari iman sebagai proses (internalisasi dan individuasi). Implikasi metodologinya ialah bahwa pendekatan untuk membentuk tingkah laku yang mewujudkan nilai-nilai iman tidak dapat hanya mengutamakan nilai-nilai itu dalam bentuk jadi, tetapi juga harus mementingkan proses dan cara pengenalan nilai hidup tersebut. Dari sudut anak didik, hal ini bahwa seyogianya anak didik mendapat kesempatan sebaik-baiknya mengalami proses tersebut sebagai peristiwa pengalaman pribadi, agar melalui pengalaman-pengalaman itu terjadi kristalisasi nilai iman.
3. Prinsip sosialisasi
Pada umumnya nilai-nilai hidup bru benar-benar mempunyai arti apabila telah memperoleh dimensi sosial. Oleh karena itu suatu bentuk tingkah laku terpola baru teruji secara tuntas bilamana sudah diterima secara sosial. Implikasi metodologinya ialah bahwa usaha pembentukan tingkah laku mewujudkan nilai iman hendaknya tidak diukur keberhasilannya terbatas pada tingkat individual (yaitu hanya dengan memperhatikan kemampuan seseorang dalam kedudukannya sebagai individu), tetapi perlu mengutamakan penilaian dalam kaitan kehidupan interaksi sosial (proses sosialisasi) orang tersebut. Pada tingkat akhir harus terjadi proses sosialisasi tingkah laku, sebagai kelengkapan proses individuasi, karena nilai iman yang diwujudkan ke dalam tingkah laku selalu mempunyai dimensi sosial.
4. Prinsip konsistensi dan koherensi
Nilai iman lebih mudah tumbuh terakselerasi, apabila sejak semula ditangani secara konsisten, yaitu secara tetap dan konsekuen, serta secara koheren, yaitu tanpa mengandung pertentangan antara nilai yang satu dengan nilai lainnya. Implikasi metodologinya adalah bahwa usaha yang dikembangkan untuk mempercepat tumbuhnya tingkah laku yang mewujudkan nilai iman hendaknya selalu konsisten dan koheren. Alasannya, caranya dan konsekuensinya dapat dihayati dalam sifat dan bentuk yang jelas dan terpola serta tidak berubah-ubah tanpa arah. Pendekatan demikian berarti bahwa setiap langkah yang terdahulu akan mendukung serta memperkuat langkah-langkah berikutnya. Apabila pendekatan yang konsisten dan koheren sudah tampat, maka dapat diharapkan bahwa proses pembentukan tingkah laku dapat berlangsung lebih lancar dan lebih cepat, karena kerangka pola tingkah laku sudah tercipta.
5. Prinsip integrasi
Hakikat kehidupan sebagai totalitas, senantiasa menghadapkan setiap orang pada problematika kehidupan yang menuntut pendekatan yang luas dan menyeluruh. Jarang sekali fenomena kehidupan yang berdiri sendiri. Begitu pula dengan setiap bentuk nilai hidup yang berdimensi sosial. Oleh karena itu tingkah laku yang dihubungkan dengan nilai iman tidak dapat dibentuk terpisah-pisah. Makin integral pendekatan seseorang terhadap kehidupan, makin fungsional pula hubungan setiap bentuk tingkah laku yang berhubungan dengan nilai iman yang dipelajari. Implikasi metodologinya ialah agar nilai iman hendaknya dapat dipelajari seseorang tidak sebagai ilmu dan keterampilan tingkah laku yang terpisah-pisah, tetapi melalui pendekatan yang integratif, dalam kaitan problematik kehidupan yang nyata.
Tanda-tanda Orang Beriman
Al-Qur’an menjelaskan tanda-tanda orang yang beriman sebagai berikut:
- Jika disebut nama Allah, maka hatinya bergetar dan berusaha agar ilmu Allah tidak lepas dari syaraf memorinya, serta jika dibacakan ayat al-Qur’an, maka bergejolak hatinya untuk segera melaksanakannya (al-Anfal: 2). Dia akan memahami ayat yang tidak dia pahami.
- Senantiasa tawakal, yaitu bekerja keras berdasarkan kerangka ilmu Allah, diiringi dengan doa, yaitu harapan untuk tetap hidup dengan ajaran Allah menurut Sunnah Rasul (Ali Imran: 120, al-Maidah: 12, al-Anfal: 2, at-Taubah: 52, Ibrahim: 11, Mujadalah: 10, dan at-Taghabun:13).
- Tertib dalam melaksanakan shalat dan selalu menjaga pelaksanaannya (al-Anfal: 3 dan al-Mu’minun: 2, 7). Bagaimanapun sibuknya, kalau sudah masuk waktu shalat, dia segera shalat untuk membina kualitas imannya.
- Menafkahkan rezki yang diterimanya (al-Anfal: 3 dan al-Mukminun:4). Hal ini dilakukan sebagai suatu kesadaran bahwa harta yang dinafkahkan di jalan Allah merupakan upaya pemerataan ekonomi, agar tidak terjadi ketimpangan antara yang kaya dengan yang miskin.
- Menghindari perkataan yang tidak bermanfaat dan menjaga kehormatan (al-Mukminun: 3,5). Perkataan yang bermanfaat atau yang baik adalah yang berstandar ilmu Allah, yaitu al-Qur’an menurut Sunnah Rasulullah.
- Memelihara amanah dan menepati janji (al-Mukminun: 6). Seorang mu’min tidak akan berkhianat dan dia akan selalu memegang amanah dan menepati janji.
- Berjihad di jalan Allah dan suka menolong (al-Anfal:74). Berjihad di jalan Allah adalah bersungguh-sungguh dalam menegakkan ajaran Allah, baik dengan harta benda yang dimiliki maupun dengan nyawa.
- Tidak meninggalkan pertemuan sebelum meminta izin (an-Nur: 62). Sikap seperti itu merupakan salah satu sikap hidup seorang mukmin, orang yang berpandangan dengan ajaran Allah menurut Sunnah Rasul.
Akidah Islam sebagai keyakinan membentuk perilaku bahkan mempengaruhi kehidupan seorang muslim. Abu A’la Maudadi menyebutkan tanda orang beriman sebagai berikut:
- Menjauhkan diri dari pandangan yang sempit dan picik.
- Mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri dan tahu harga diri
- Mempunyai sifat rendah hati dan khidmat
- Senantiasa jujur dan adil
- Tidak bersifat murung dan putus asa dalam menghadapi setiap persoalan dan situasi
- Mempunyai pendirian teguh, kesabaran, ketabahan, dan optimisme.
- Mempunyai sifat ksatria, semangat dan berani, tidak gentar menghadapi resiko, bahkan tidak takut kepada maut.
- Mempunyai sikap hidup damai dan ridha.
- Patuh, taat, dan disiplin menjalankan peraturan Ilahi.
Korelasi Keimanan dan Ketakwaan
Keimanan pada keesaan Allah yang dikenal dengan istilah tauhid dibagi menjadi dua, yaitu tauhid teoritis dan tauhid praktis. Tauhid teoritis adalah tauhid yang membahas tentang keesaan Zat, keesaan Sifat, dan keesaaan Perbuatan Tuhan. Pembahasan keesaan Zat, Sifat, dan Perbuatan Tuhan berkaitan dengan kepercayaan, pengetahuan, persepsi, dan pemikiran atau konsep tentang Tuhan. Konsekuensi logis tauhid teoritis adalah pengakuan yang ikhlas bahwa Allah adalah satu-satunya Wujud Mutlak, yang menjadi sumber semua wujud.
Adapun tauhid praktis yang disebut juga tauhid ibadah, berhubungan dengan amal ibadah manusia. Tauhid praktis merupakan terapan dari tauhid teoritis. Kalimat Laa ilaaha illallah (Tidak ada Tuhan selain Allah) lebih menekankan pengertian tauhid praktis (tauhid ibadah). Tauhid ibadah adalah ketaatan hanya kepada Allah. Dengan kata lain, tidak ada yang disembah selain Allah, atau yang berhak disembah hanyalah Allah semata dan menjadikan-Nya tempat tumpuan hati dan tujuan segala gerak dan langkah.
Selama ini pemahaman tentang tauhid hanyalah dalam pengertian beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Mempercayai saja keesaan Zat, Sifat, dan Perbuatan Tuhan, tanpa mengucapkan dengan lisan serta tanpa mengamalkan dengan perbuatan, tidak dapat dikatakan seorang yang sudah bertauhid secara sempurna. Dalam pandangan Islam, yang dimaksud dengan tauhid yang sempurna adalah tauhid yang tercermin dalam ibadah dan dalam perbuatan praktis kehidupan manusia sehari-hari. Dengan kata lain, harus ada kesatuan dan keharmonisan tauhid teoritis dan tauhid praktis dalam diri dan dalam kehidupan sehari-hari secara murni dan konsekuen.
Dalam menegakkan tauhid, seseorang harus menyatukan iman dan amal, konsep dan pelaksanaan, fikiran dan perbuatan, serta teks dan konteks. Dengan demikian bertauhid adalah mengesakan Tuhan dalam pengertian yakin dan percaya kepada Allah melalui pikiran, membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan perbuatan. Oleh karena itu seseorang baru dinyatakan beriman dan bertakwa, apabila sudah mengucapkan kalimat tauhid dalam syahadat asyhadu allaa ilaaha illa Alah, (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah), kemudian diikuti dengan mengamalkan semua perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya.
Problematika, Tantangan, dan Resiko dalam Kehidupan Modern
Di antara problematika dalam kehidupan modern adalah masalah sosial-budaya yang sudah established, sehingga sulit sekali memperbaikinya.
Berbicara tentang masalah sosial budaya berarti berbicara tentang masalah alam pikiran dan realitas hidup masyarakat. Alam pikiran bangsa Indonesia adalah majemuk (pluralistik), sehingga pergaulan hidupnya selalu dipenuhi oleh konflik baik sesama orang Islam maupun orang Islam dengan non-Islam.
Pada millenium ketiga, bangsa Indonesia dideskripsikan sebagai masyarakat yang antara satu dengan lainnya saling bermusuhan. Hal itu digambarkan oleh Ali Imran: 103, sebagai kehidupan yang terlibat dalam wujud saling bermusuhan (idz kuntum a’daa’an), yaitu suatu wujud kehidupan yang berada pada ancaman kehancuran.
Adopsi modernisme (werternisme), kendatipun tidak secara total, yang dilakukan bangsa Indonesia selama ini, telah menempatkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang semi naturalis. Di sisi lain, diadopsinya idealisme juga telah menjadikan bangsa Indonesia menjadi pengkhayal. Adanya tarik menarik antara kekuatan idealisme dan naturalisme menjadikan bangsa Indonesia bersikap tidak menentu. Oleh karena itu, kehidupannya selalu terombang-ambing oleh isme-isme tersebut.
Secara ekonomi bangsa Indonesia semakin tambah terpuruk. Hal ini karena diadopsinya sistem kapitalisme dan melahirkan korupsi besar-besaran. Sedangkan di bidang politik, selalu muncul konflik di antara partai dan semakin jauhnya anggota parlemen dengan nilai-nilai qur’ani, karena pragmatis dan oportunis.
Di bidang sosial banyak muncul masalah. Berbagai tindakan kriminal sering terjadi dan pelanggaran terhadap norma-norma bisa dilakukan oleh anggota masyarakat. Lebih memprihatinkan lagi adalah tindakan penyalahgunaan NARKOBA oleh anak-anak sekolah, mahasiswa, serta masyarakat. Di samping itu masih terdapat bermacam-macam masalah yang dihadapi bangsa Indonesia dalam kehidupan modern.
Persoalan itu muncul, karena wawasan ilmunya salah, sedang ilmu merupakan roh yang menggerakkan dan mewarnai budaya. Hal itu menjadi tantangan yang amat berat dan dapat menimbulkan tekanan kejiwaan, karena kalau masuk dalam kehidupan seperti itu, maka akan melahirkan risiko yang besar.
Untuk membebaskan bangsa Indonesia dari berbagai persoalan di atas, perlu diadakan revolusi pandangan. Dalam kaitan ini, iman dan taqwa yang dapat berperan menyelesaikan problema dan tantangan kehidupan modern tersebut.
Peran Iman dan Takwa dalam Menjawa Problema dan Tantangan Kehidupan Modern
Pengaruh iman terhadap kehidupan manusia sangat besar. Berikut ini dikemukakan beberapa pokok manfaat dan pengaruh iman pada kehidupan manusia.
1. Iman melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda
Orang yang beriman hanya percaya pada kekuatan dan kekuasaan Allah. Kalau Allah hendak memberikan pertolongan, maka tidak ada satu kekuatanpun yang dapat mencegahnya. Sebaliknya, jika Allah hendak menimpakan bencana, maka tidak ada satu kekuatanpun yang sanggup menahan dan mencegahnya. Kepercayaan dan keyakinan demikian menghilangkan sifat mendewa-dewakan manusia yang kebetulan sedang memegang kekuasaan, menghilangkan kepercayaan pada kesaktian benda-benda kramat, mengikis kepercayaan pada khurat, takhyul, jampi-jampi dan sebagainya. Pegangan orang yang beriman adalah firman Allah surat al-Fatihah ayat 1-7 .
2. Iman menanamkan semangat berani menghadapi maut
Takut menghadapi maut menyebabkan manusia menjadi pengecut. Banyak di antara manusia yang tidak berani mengemukakan kebenaran, karena takut menghadapi resiko. Orang yang beriman yakin sepenuhnya bahwa kematian di tangan Allah. Pegangan orang beriman mengenai soal hidup dan mati adalah firman Allah dalam QS 4 (al-Nisa’):78:
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh“
3. Iman menanamkan sikap “self help” dalam kehidupan .
Rezeki atau mata pencaharian memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Banyak orang yang melepaskan pendiriannya, karena kepentingan penghidupannya. Kadang-kadang manusia tidak segan-segan melepaskan prinsip, menjual kehormatan, bermuka dua, menjilat, dan memperbudak diri, karena kepentingan materi. Pegangan orang beriman dalam hal ini ialah firman Allah dalam QS 11 (Hud):6:
“Dan tidak ada satu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata. (lauh mahfud)“.